Sabtu, 20 Juni 2015

San Andreas dan Life Is Beautiful

Baru kemarin saya mengajak anak-anak nonton film San Andreas. Film yang menceritakan tentang bergetarnya patahan San Andreas yang membentang 1300 Kilometer di pantai barat Amerika Serikat, yang mengakibatkan gempa 9,5 SR di kota San Francisco dan Tsunami setinggi 25 meter, serta mempengaruhi lempeng bumi di seluruh dunia.
Anak saya yang sulung bisa dikatakan sangat familiar dengan bencana. Waktu umur 1 bulan, ia sudah disambut gempa Yogyakarta 5,9 SR yang meluluh lantakkan Bantul. Rumah kami yang berada di kawasan Muntilan kabupaten Magelang tak luput dari goncangan keras akibat gempa Bantul yang menewaskan lebih dari 5000 korban jiwa. Mika, anak saya, yang masih bayi sempat dibawa lari keluar oleh eyang kakungnya saat terjadi goncangan. Selang beberapa hari kemudian, giliran erupsi gunung Merapi 2006 yang menimbulkan getaran disertai hujan material vulkanik tipis. Maklum Muntilan merupakan daerah yang sangat dekat dengan gunung Merapi. Letaknya di sisi barat puncak Merapi. Lalu pada umur 4 tahun, giliran mega erupsi Merapi 2010 yang membuatnya shock akan bencana. Saya yang waktu itu bertugas liputan di Sleman tidak sempat mengungsikan keluarga karena kondisi tugas yang membuat saya tidak bisa meninggalkan pos. Dimulai dari hujan abu lebat hingga erupsi hebat tengah malam tanggal 4 November 2010, saya bertugas di Sleman. Kejadian erupsi besar tanggal 4 November 2010 tengah malam benar-benar memukul kondisi psikologis anak saya. Hujan material vulkanik hebat malam itu, disertai suara ledakan bertubi tubi gunung Merapi, membuat Muntilan dan sekitarnya luluh lantak. Suara pohon-pohon roboh karena tidak sanggup menerima beban beratnya material vulkanik yang jatuh, membuat suara suara mengerikan, ditambah lagi suara ledakan gunung. Belum lagi kondisi listrik yang mati dan hilangnya cahaya matahari karena tertutup debu vulkanik, membuat suasana bertambah mencekam untuk anak kecil berusia 4 tahun, yang punya sejarah bencana semenjak berumur 1 bulan. Saya baru bisa melakukan evakuasi keluarga pagi harinya sekitar jam 7 pagi. Begitu gembiranya keluarga saat saya membuka pintu rumah yang tertutup rapat tanpa listrik.
Semenjak itu, anak saya pun seperti terus teringat peristiwa-peristiwa mengerikan itu. Setiap terjadi cuaca buruk, halilintar, dan listrik mati, ia selalu ketakutan dan bertanya, "apa itu Merapi?" sambil ketakutan dan mencari tempat bersembunyi. Kondisi itulah yang membuat saya sedikit memberontak dengan kantor saat harus bertugas selama 2 minggu di Jakarta, karena Jogja waktu itu sedang terjadi musim cuaca buruk. Anak saya butuh kehadiran saya. Walaupun saya salah karena alasan itu terkesan tidak profesional, dan kantor tidak mau mengerti, tapi saya memilih tidak mau beresiko menanggung beban psiklogis yang lebih panjang karena trauma anak saya, dibanding saya menerima peringatan dari kantor. Saya pun mulai melakukan terapi terapi sederhana kepada anak saya. Konon kata kawan saya seorang psikolog, terapi paling bagus bagi anak adalah terapi dari orang tuanya. Saya pun ingat sebuah film Italia berjudul "Life is Beautiful" yang dibintangi aktor watak Italia Roberto Benigni. Film itu menceritakan seorang ayah Yahudi yang hidup bersama anaknya di kamp konsentrasi Nazi di Italia pada Perang Dunia Kedua. Karena takut akan kondisi psikologis sang anak yang hidup di kamp konsentrasi Jerman Nazi yang penuh kekerasan, maka sang ayah pun memberitahukan kepada anaknya bahwa semua kejadian yang ada di kamp konsentrasi adalah permainan yang ujung-ujungnya berhadiah tank. Dalam film dikisahkan, setiap kejadian mengerikan dengan susah payah diterjemahkan oleh sang ayah kepada anaknya dalam bahasa permainan. Setelah sekutu menang perang, Jerman Nazi pun mundur dan meninggalkan kamp konsentrasi, yang disusul dengan datangnya pasukan tank sekutu menembus tembok kamp konsentrasi, dimana ayah dan anak itu ditempatkan. Si anak pun percaya dia telah

0 komentar:

Posting Komentar