Jumat, 02 Oktober 2015

Ketika Maghrib di Pancoran

Saya bahkan sudah lupa nama dari pasangan sederhana berusia lanjut itu. Keduanya saya temui ketika saya membuat liputan kisah-kisah Ramadhan di tahun 2005 silam, tentang penyapu jalanan ibukota. Saya dan reporter waktu itu mendatangi sebuah rumah, yang lebih tepat disebut gubug, karena hanya berukuran sekitar 3x3 m2 yang berdiri di tanah kosong kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Gubug itu hanya terdiri dari satu ruangan bercampur aduk dari kamar tidur, ruang tamu, hingga dapur. Penghuninya adalah sepasang suami istri berusia senja, berumur sekitar 60 tahun an, yang berprofesi sebagai buruh penyapu jalan. Mereka bekerja dari selepas shubuh, hingga menjelang maghrib, menyapu jalan sekitar Tugu Pancoran, dengan upah waktu itu sekitar 5000 rupiah per hari. Namun kali ini saya terjebak oleh rasa kasihan sebagai seorang manusia. Ketika saya melihat mereka, saya jadi teringat dengan orang tua yang tinggal di Yogyakarta, yang juga tinggal sendiri di rumah.
Singkat cerita, seharian kami mengikuti pasangan suami istri lanjut usia itu dari mulai persiapan sebelum Shubuh, hingga sore menjelang. Menjelang maghrib, kami pun meneruskan pengambilan gambar buka bersama pasangan suami istri itu di gubung sederhana mereka. Adzan maghrib pun menggema ke seantero ibukota, dan saya terus merekam aktifitas mereka saat berbuka puasa. Melihat mereka berbuka puasa, saya pun tersenyum sambil mata tak lepas dari view finder kamera video saya. Begitu hangat mereka dalam kesederhanaan di usia senja. Saling berbincang, saling tertawa, saling bercerita, seolah hanya ada kebahagiaan di dalam hidup mereka. Seolah kesulitan hidup hanyalah pandangan orang luar yang hanya melihat hidup mereka "dari luar pagar". Mereka seperti muda dan bahagia.
Tak lama, si bapak memanggil saya dan reporter untuk ikut bergabung berbuka puasa bersama.
"Nak, berbukalah dulu....hentikan dulu bekerja...mari kita berbuka bersama..." kata si bapak memanggil saya.
Saya sebenarnya tidak enak ikut berbuka puasa mengingat makanan mereka terlihat tidak banyak. Saya takut justru merepotkan. Namun untuk kedua kali si bapak memanggil kami.
"Sini...ayo berbuka seadanya...hanya ada sayur bening, dan nasi serta segelas teh panas...."
Saya pun terpaksa memenuhi undangan mereka karena takut mereka tersinggung. Dan benar saja, di situ hanya ada serantang sayur bening yang hanya berisi daun kol saja tanpa ada sayuran lainnya. Teh panas yang dibuatkan si ibu pun bening dan tidak terlalu manis. Namun mereka dengan lahap berbuka dan minum teh bersama sambil tertawa tertawa bertukar cerita. Betapa sore itu di gubung yang hanya terbuat dari triplek bekas itu, saya benar benar mendapat sebuah makna. Betapa kebahagiaan tidak selalu diukur dengan harta dan rupiah. Betapa kehangatan dan cinta tidak selalu diukur dengan rumah mewah dan melimpahnya makanan.
Bahagia itu sederhana....ketika kita merasa bahwa harta adalah semu dan cinta adalah sesuatu jujur serta kekal. Segelas teh panas dan sepiring sayur kol menjadi istimewa, ketika kita tidak lagi memperbincangkan kesulitan...karena sejatinya hidup adalah saat tubuh, tangan, hati, dan pikiran kita selalu bahagia..
Kini saya tida pernah tahu lagi dimana pasangan suami istri itu berada. Terakhir saya berkunjung ke Jakarta dan melewat Pancoran, gubug mereka tidak lagi terlihat.

0 komentar:

Posting Komentar