Dampak gerhana matahari total secara keilmuan adalah terpengaruhnya magnet bumi karena gaya tarik bulan dan matahari. Secara singkat dan awam, peristiwa terjadinya Gerhana Matahari Total akan menutup proses pemanasan dan ionisasi di lapisan ionosfer sehingga “arus ionosfer” terganggu, sehingga kejadian ini akan mengakibatkan gangguan medan magnet bumi. Karena tertutup Bulan, sinar ultraviolet tak menjangkau atmosfer Bumi sehingga proses ionisasi tak terjadi. Perubahan arus itu bisa memengaruhi variasi harian geomagnet Bumi. Saat GMT, para ilmuwan bisa menentukan nilai medan magnetik Bumi sebenarnya pada titik tertentu di Bumi yang dilintasi jalur totalitas gerhana. Nilai kemagnetan Bumi dipengaruhi banyak hal, dari dalam dan luar Bumi. Karena itu, saat Bulan mengeblok angin matahari, maka medan magnetik asli yang ditimbulkan Bumi bisa diukur. Data medan magnet Bumi sebenarnya diperlukan untuk menentukan arah dalam navigasi, menentukan ketepatan posisi pengeboran dalam eksplorasi sumber daya mineral, serta memprediksi perubahan iklim. Secara science, gerhana matahari total tidak berpengaruh apapun terhadap bumi, selain mempengaruhi medan magnet bumi.
Dalam Islam, gerhana matahari total lebih dimaknai sebagai tanda kebesaran Tuhan sehingga lebih dimaknai dengan fungsi permengungan akan kebesaran Tuhan pencipta alam. Sejak nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasulullah sampai meninggal, hanya ada lima kali peristiwa Gerhana Matahari di Mekah dan Madinah. Empat Gerhana Matahari terjadi di Mekah dan sekali di Madinah. Selama hidup Rasulullah hanya sekali melaksanakan Salat Gerhana Matahari Cincin pada tanggal 30 Januari 632.
Dalam kepercayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya, gerhana matahari total selalu dikaitkan dengan Batara Kala yang memakan habis matahari. Masyarakat diminta untuk menciptakan bunyi-bunyian yang bertujuan agar Batara Kala memuntahkan kembali matahari yang dimakannya. Logis kah?
Siapakah Batara Kala?
Sesuai kepercayaan Hindu dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Tumpek Wayang adalah manifestasi Sanghyang Iswara yang berfungsi untuk menerangi kegelapan, memberikan pencerahan ke hidupan di dunia serta mampu membangkitkan daya seni dan keindahan.
Tumpek (seperti membaca : sumpek) terdiri dari dua suku kata "tum" yang artinya kesucian dan "pek" yang artinya putus atau terakhir. Jadi "tumpek" adalah hari suci yang jatuh pada penghujung akhir Saptawara dan pancawara seperti Saniscara Kliwon Wayang disebutlah Tumpek wayang.
Tumpek Wayang juga bermakna ''hari kesenian'' karena hari itu secara ritual diupacarai (kelahiran) berbagai jenis kesenian seperti wayang, barong, rangda, topeng, dan segala jenis gamelan. Aktivitas ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur terhadap Sang Hyang Taksu sering disimboliskan dengan upacara kesenian wayang kulit, karena ia mengandung berbagai unsur seni atau teater total. Dalam kesenian ini, semua eksistensi dan esensi kesenian sudah tercakup.
Tumpek wayang merupakan cerminan dimana dunia yang diliputi dengan kegelapan, kebodohan, keangkuhan, dan keangkaramurkaan. Oleh sebab itu Dewa Siwa pun mengutus Sanghyang Samirana turun ke dunia untuk memberikan kekuatan kepada manusia yang nantinya sebagai mediator di dalam menjalankan aktifitasnya. Orang yang menjadi mediator inilah disebut seorang Dalang atau Samirana. Sanghyang Iswara juga memberikan kekuatan seorang Dalang sehingga mampu membangkitkan cita rasa seni dan daya tarik yang mampu memberikan sugesti kepada orang lain yaitu para penontonnya.
Kembali ke cerita Batara Kala...
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".
Dari cerita ini, Batara Kala dianggap sebagai simbolisasi kegelapan manusia atau iblis dalam bahasa agama. Kegelapan dan keserakahan itu dapat dilawan dengan kesenian seperti wayang, dan gendhing yang kesemuanya memiliki unsur bunyi. Bunyi-bunyian seperti gendhing, gejog lesung, hingga kentongan itulah yang dipercaya dapat melawan kegelapan manusia. Kesenian membuat manusia belajar dengan petuah-petuah tinggi tentang kehidupan yang ditransformasikan dalam beragam jenisnya. Sejarah bercerita, Sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan tinggi pastilah memiliki standard ketuhanan yang tinggi. Ketuhanan tinggi itulah yang digunakan untuk mengatur tatanan dunia sehingga terhindar dari kegelapan yang bersinonim pada kejahatan.
Gerhana matahari total mungkin memang hanya fenomena alam yang secara science modern berpengaruh kepada beberapa aspek planet bumi yang kita diami. Mungkin pergerakan lempeng bumi yang mengakibatkan bencana seperti gempa merupakan dampak dari terpengaruhnya gaya magnet bumi. Ingat, menurut Einstein dan Stephen Hawkings, sistem tata surya ada dan tertata karena aspek utama, yakni gaya magnet.
Beberapa agama menjadikan Gerhana matahari total sebagai pengingat akan kebesaran Tuhan dan petuah tentang pentingnya tatanan yang baik bagi kemaslahatan hidup umat manusia di bumi.
Tergantung dari mana kita berdiri dan memandang Gerhana Matarari Total.....
Sumber : kompas.com, tempo.co, Republika, Mitologi Hindu, uin-suka.ac.id, Wikipedia