Senin, 18 Juli 2016

Mbah Arjo "Sang Penata Rambut"

Ada dua orang yang diceritakan ibu, pada minggu sore yang mendung itu. Satu orang bernama mbah Arjo, saya tidak tahu nama kecilnya. Perempuan Jawa jika sudah menikah kebanyakan menggunakan nama suaminya, sehingga kadang orang justru tidak tahu nama asli atau nama kecilnya. Dahulu Mbah Arjo datang seminggu sekali ke rumah saya. Pada masa itu saya masih berada di kelas 5 SD, dan tinggal bersama mbah buyut atau ibunya nenek, bernama mbah Pringgo, yang saya panggil budhe. Menurut silsilah, Budhe Pringgo adalah Putri dari Penari Cakil Keraton Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, bernama mbah Sumodigdo. Hal ini lah yang membuat Budhe Pringgo mendapatkan gelar bangsawan Kraton Yogyakarta dari Sultan HB VIII waktu itu. Walau di masa tuanya tidak lagi aktif di Kraton, namun kebiasaan hidup dalam nuansa feodal selalu dipertahankan di keluarga kami. Kebiasaan hidup dalam lingkungan kraton pula lah yang membentuk karakter Budhe Pringgo untuk tetap rapi dalam berpakaian dan tertib ketat dalam etika jawa. Budhe selalu bangun pagi dan melaksanakan sholat Shubuh. Selepas sholat beliau selalu mandi dan langsung berpakaian rapi. Dengan kebaya, jarik, dan sanggul khas Jawa Yogyakarta, biasanya saat cucu cucunya baru bangun, beliau sudah lenggah di lincak (kursi bambu) depan rumah sambil nginang (mengunyah sirih). Karena bersanggul itulah, sosok mbaj Arjo ada. Mbah Arjo sangat setia dengan Budhe Pringgo. Beliau adalah "penata rambut" budhe Pringgo sejak budhe muda. "Penata rambut" di sini bukan berarti menata rambut, namun pemelihara "cemara". Apa itu "Cemara"? "Cemara" biasa juga disebut subal atau rambut palsu. Rambut palsu di sini berarti rambut palsu panjang yang dipakai bahan untuk sanggul. Karena tiap hari bersanggul, budhe Pringgo memiliki beberapa buah "cemara". "Cemara" itu masing- masing harus dirawat agar tidak rusak dan kusut. Tugas merawat itulah yang dibebankan kepada mbah Arjo. Setiap minggu mbah Arjo yang ramah selalu datang ke rumah kami. Jika dalam strata kebangsawanan Jawa, mbah Arjo adalah warga masyarakat biasa. Maka itu Mbah Arjo selalu memanggil budhe Pringgo dengan sebutan Den Ayu dan menyebut simbah atau eyang putri saya (anak budhe Pringgo) dengan panggilan Den Nganten. Setiap mbah Arjo datang, budhe selalu menyiapkan beberapa "Cemara" yang akan di service atau di rawat. Dengan pelan dan penuh rasa, mbah Arjo menyisir "cemara" dan meminyakinya dengan minyak telon agar "cemara" mudah disisir dan tidak kusut. Pekerjaan itu dilakukannya dengan telaten selama beberapa jam setiap seminggu sekali. biasanya sambil merawat "cemara", mbah Arjo dan budhe Pringgo selalu sambil asyik berbincang dari mulai rumpi hingga obrolan serius.

Namun, saat budhe Pringgo meninggal sekitar tahun 90 an, mbah Arjo pun tak lagi kelihatan mengunjungi rumah kami. Saat inipun tidak ada yang tahu di mana keberadaan Mbah Arjo..apakah masih hidup atau sudah meninggal.

Walau begitu, mbah Arjo dan profesinya selalu saya ingat dan menjadi bagian sejarah keluarga saya. Saya tidak bisa membayangkan, jikapun masih ada, apakah profesi seperti mbah Arjo masih memiliki lahan dan akan bertahan hidup di tengah era modern dimana tidak ada lagi orang yang rutin bersanggul dan banyaknya penata rambut dari berbagai negara dengan gaya masing2 berbeda...

Mbah Arjo adalah bagian dari saksi sejarah betapa jaman mengubah pola hidup masyarakat Yogyakarta tanpa kendali, dan menghancurkan komponen pembentuk  masa lampau yang unik dan tak lagi bisa kita jumpai sekarang...

Mbah Arjo kini hanya menjadi bagian dari cerita saja...bukan lagi menjadi aktor penting akibat teknologi instan dan pudarnya budaya lokal Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar