Minggu, 09 Agustus 2015

Mitologi dan Belajar Agama dengan Arif

Bicara mengenai kekeringan, saya jadi ingat sebuah kisah tentang ritual merti telaga di daerah selatan Wonosari, Gunung Kidul. Ritual yang menampilkan tari tayub di pinggir telaga kecil itu sungguh menjadikan sebuah pesan tersampaikan tanpa pemaksaan secara fisik. Saya sempat tertawa saat mengusulkan untuk membuat topik itu menjadi sebuah film dokumenter untuk mahasiswa saya. Seorang mahasiswa putri berkerudung menolak mentah mentah topik itu dengan alasan itu adalah tema yang musrik. Saya pun manggut manggut tertawa. Padahal bagi saya sebagai seorang film maker, sebelum membuat sebuah film berkualitas kita harus melepaskan diri dari "atribut" apapun yang kita kenakan, apakah itu agama, suku, bahkan hingga gender.
Saya pun menjelaskan tema yang dianggap "musrik" itu.... Sebelum berbicara tentang ritual Merti Telaga, kita harus mengetahui latar belakang kontur Geografis Gunung Kidul yang tandus dan sering dilanda kekeringan karena tanah di kawasan itu adalah tanah kapur. Telaga yang asri penuh air menjadi sebuah "tambang emas" bagi warga kawasan Gunung Kidul. Namun manusia yang selalu serakah akan terus mencoba mengusik keasrian telaga. Pengrusakan telaga menjadi keniscayaan yang sangat mudah terjadi. Untuk menjaga hal itu, maka dibuatlah mitologi tentang jin penunggu telaga yang bermukim di pohon besar pinggir telaga. Sudah menjadi sifat manusia, jika hanya dilarang secara verbal, maka diam diam tetap tidak akan dipedulikan dan lebih mementingkan isi perut pribadi. Berbeda jika dibuat mitologi, "jika memancing ikan, atau merusak telaga akan mati atau minimal sakit parah....".
Mitologi tersebut terbukti manjur. Namun seperti halnya sifat mitologi yang seperti kata berantai turun menurun, lama-lama akan musnah juga jika tidak rutin di ceritakan. Lalu dibuatlah ritual tari tayub merti telaga, dengan alasan tayub adalah tari kesukaan jin penunggu telaga.
Lalu mengapa tari tayub?sederhananya adalah tari tayub merupakan tarian favorit warga, dan sebuah pertunjukan yang mudah mengumpulkan warga desa. Dan sampai hari ini tarian ini ditarikan setiap setahun sekali di pinggir telaga...
Saat saya mendatangi lokasi, terdapat ratusan warga desa setempat berkumpul dari mulai anak kecil hingga kakek nenek..dari laki laki hingga perempuan..duduk dengan alas seadanya di pinggir telaga, di bawah pohon "tempat tinggal jin penunggu telaga", menyaksikan tarian tayub hingga selesai...
Pesannya sederhana....akhirnya warga desa diingatkan kembali akan adanya jin penunggu telaga yang menjadi benteng bagi perusak telaga yang merupakan sumber air utama di kawasan Gunung Kidul, yang rawan kekeringan..setiap setahun sekali.. Kisah mitologi jin penunggu telaga pun lestari hingga sekarang, sehingga telaga pun terjaga dari potensi-potensi pengrusakan orang-orang yang egois mementingkan perutnya sendiri....
Dan terbukti..kekeringan kini menjadi masalah di berbagai tempat....Hal ini karena filosofi budaya dalam sebuah mitologi telah menjadi musuh di tanahnya sendiri...di dalam bangsanya sendiri....
Sangat disayangkan....pendidikan agama yang tidak diimbangi dengan ilmu cerdas tentang filosofi dan budaya menjadikan ribuan mitologi yang memiliki pesan tinggi seperti tayub merti telaga pun musnah dilibas peradaban dan penyebaran agama yang salah kaprah.....Kini banyak anak-anak yang dengan mudah mengkafirkan atau mengecap musrik tanpa tahu makna indah di belakang sebuah ritual atau budaya..
Saya jadi ingat, betapa tingginya kecerdasan Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam dengan merangkul budaya lokal yang mayoritas Hindu dengan mentransformasikan Islam ke dalam budaya... Musrik kah?Tergantung bagaimana kita memaknai apakah ada hubungannya sebuah ritual dengan agama yang menjadi masalah pribadi antara kita dengan Tuhan...atau ritual dan mitologi hanya sebuah pesan dari seorang kakek nenek kepada cucunya, agar cucunya menjaga warisan mereka dengan perilaku yang baik dan benar??
Silakan menjadi orang cerdas dalam melihat budaya bangsa kita sendiri...

0 komentar:

Posting Komentar