Morning Coffee

Pagi adalah inspirasi

Step

Setiap Langkah Kecil adalah Progres Besar bagi Hidup

Night

Bintang-bintang hanyalah masa lalu

Miracle

Keajaiban muncul dari energi tersembunyi di setiap manusia

God

Tuhan selalu ada di setiap sudut tersembunyi dari jiwa manusia

Rabu, 28 Oktober 2015

Memahami Merah Putih dari Ndog Abang (Telur Merah)

Ndog abang atau telur merah sering kita jumpai saat prosesi Grebeg Mulud, Syawal, maupun Besar. Telur merah biasanya dijual di pinggir-pinggir jalan pada saat berlangsungnya pasar malam Sekaten maupun pada saat prosesi Grebeg. Telur merah ditusuk kayu bambu dengan hiasan kertas minyak warna warni di atasnya. Dahulu pada saat menjelang Grebeg, kita dengan mudah menjumpai para penjual telur merah. Namun seiring bergulirnya modernisasi, penjual telur merah pun dapat dihitung dengan jari. Telur merah tidak hanya sekadar makanan camilan yang dijajakan untuk anak-anak. Telur merah ternyata memiliki simbol dan filosofi tinggi yang berkaitan dengan falsafah Jawa tentang kehidupan. Menurut KRT Jatiningrat atau biasa disapa Romo Tirun, budayawan keraton Yogyakarta, Telur merah memiliki makna tentang asal usul manusia. Telur merah terdiri dari bagian putih atau putihan dan cangkang yang diwarnai dengan warna merah. Putih adalah simbol laki-laki atau sperma, sedangkan cangkang merah berarti wanita atau lebih spesifiknya rahim wanita yang membungkus kuning telur atau calon bayi atau manusia baru. Merah dan putih ini dimaknai lebih dalam falsafah Jawa kuno yang dihubungkan dengan perilaku manusia. Jawa mengenal merah dan putih sebagi gula kelapa. Gula adalah gula aren yang juga berasal dari kelapa. Kelapa sendiri di Jawa merupakan buah yang istimewa. Selain karena kontur Nusantara sendiri yang sangat mudah menemukan buah kelapa, pelajaran tinggi tentang hidup dan menemukan siapa sejatinya Tuhan juga berasal dari buah kelapa. Kelapa mempunyai kulit bernama sabut, atau dalam bahasa Jawa disebut sepet yang berkonotasi dengan sipat atau sifat. Sifat merupakan bawaan lahiriah yang membentuk seorang manusia, seperti iri, dengki, marah, dan lain lain. Seorang manusia yang ingin sempurna dan mengenal Tuhan harus membuang sepet atau sipat, hingga bertemu dengan batok kelapa. Batok dikonotasikan dengan bathuk atau kening yang berisi logika. Seseorang yang ingin memahami sifat Tuhan, harus membuang logika setelah membuang sipat. Logika adalah suara batin yang kadang menyesatkan dan menggoda manusia dalam berbuat baik. Kadang logika manusia justru menutup niat untuk berbuat baik walaupun telah membuang sipat atau sifat manusiawinya. Maka untuk mengenal Tuhan lebih dekat, kita harus membuang batok sehingga menemukan daging kelapa yang berwarna putih. Daging inilah sejatinya jiwa manusia. Jiwa manusia selalu jujur sehingga digambarkan berwarna putih bersih seperti daging kelapa. Jiwa ini lah yang harus didalami seorang manusia yang ingin mengenal Tuhan, karena dalam daging kelapa atau jiwa manusia terdapat banyu degan atau air kelapa yang berupa air murni. Air ini merupakan air yang benar-benar steril dan bisa mengalahkan racun apapun. Air murni itulah Tuhan. Kita akan mencapai Tuhan saat kita bisa membuang sifat buruk manusiawi kita, membuang logika, dan terakhir menyelami jiwa murni dari daging buah kelapa yang berwarna Putih hingga menemui banyu degan yang luar biasa khasiatnya mampu mengalahkan racun apapun. Gula kelapa atau merah putih begitu memiliki makna tinggi dalam sejarah Jawa dan Nusantara. Bahkan kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara dan Jawa, yakni Majapahit, pun menggunakan gula kelapa atau merah putih sebagai panji-panji kebesaran yang berkibar kencang hingga dataran genting di Semenanjung Melayu. Negara besar penerusnya pun menggunakan panji panji gula kelapa atau merah putih sebagai bendera kebangsaan, yakni Indonesia. Namun sayang, saat ini tidak ada lagi yang memaknai gula kelapa atau merah putih secara dalam. Masyarakat sekarang memaknai merah putih sebagai darah dan tulang semata, akibat propaganda politis yang mengerdilkan ajaran Jawa kuno yang begitu tinggi. Orang hanya tahu merah putih, namun tidak paham apa dan darimana merah dan putih itu berasal. Indonesia tidak kebetulan saja dibentuk. Negara besar baru ini dibentuk karena takdir menjadi keturunan dan penerus Majapahit. Negara ini dibentuk dengan filosofi tinggi dari mulai bendera kebangsaan, lambang negara, hingga tanggal-tanggal bersejarahnya. Seperti juga Terbentuknya Amerika Serikat yang memiliki sejarah tersembunyi yang berhubungan dengan Free Mason, negara ini didirikan dalam puing kebesaran Jawa yang diwakili dalam simbol simbol negara. Telur merah atau ndog abang, adalah pengingat kita akan kebesaran merah dan putih, penyatuan laki-laki dan perempuan yang membentuk kehidupan baru, dan falfafah tinggi akan manusia dan ketuhanan. Setiap 3 kali dalam setahun, pada saat Grebeg, tanpa sengaja kita selalu diingatkan akan teori kejadian dan akal budi tinggi manusia yang disimbolkan dalam merah putih. Dahulu nenek moyang kita mengibaratkan, jika kita memakan ndog abang, makan secara simbolis kita akan "memakan" ajaran tingginya tentang ketuhanan dan perilaku baik, sehingga diharapkan, prosesi seperti Grebeg tidak hanya sekadar prosesi, namun juga sebuah ajaran yang dapat mengedukasi masyarakat tentang kehidupan dan ketuhanan. Sayang, ajaran tinggi itu pelan-pelan musnah ditelan modernisasi yang semakin hari semakin tidak terarah dan menyesatkan. Merah putih hanya dikibarkan, dan dihormati, namun tidak lagi dipahami....

Rabu, 07 Oktober 2015

Cinta Tumbuh bukan Di Pernikahan

Mencintai hingga menikah adalah merupakan ikrar untuk mencoba... Jangan dulu bilang anda begitu mencintainya saat anda ada di pelaminan... Pernikahan adalah kesepakatan untuk saling berpegangan tangan menantang hidup... Mencintai sesungguhnya adalah ketika anda dan dia tetap berpegangan tangan saat kerasnya hidup menerpa anda... Seperti kapal yang harus bertahan di tengah badai yang membuatnya terombang ambing... Satu persatu kesulitan menghantam, membuat anda dan pasangan anda harus saling menopang agar tidak tenggelam... Mencintai ada di sini.... Ketika anda merasa tim anda tidak solid tanpa ada dia.... Ketika keindahan itu tidak hanya berawal dari fisiknya yang menjadi alasan anda di awal untuk mencintainya... Ketika akhirnya keindahan yang lebih sejati muncul karena kebersamaan anda mengemudikan "kapal" yang anda kendarai... Itulah mengapa orang Jawa selalu berpesan..."Witing tresno jalaran seko kulino..." atau Cinta berawal dari kebiasaan.... Bukan karena kebiasaan bertemu, kebiasaan mengatakan kata cinta, kebiasaan bersama, dan kebiasaan kebiasaan lain... Namun kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan bersama...sudah saling mengerti akibat kebiasaan menghadapi masalah bersama...dan kebiasaan saling melengkapi dalam setiap ujian yang diberikan Tuhan... Banyak pasangan yang gagal mengatasi dan membuktikan cinta yang anda selalu ucapkan atau bahkan anda ikrarkan di pernikahan karena tidak sanggup saling melengkapi, tidak mampu mengendalikan "kapal" dalam badai, dan tidak bisa menghadapi ujian hidup dengan saling menopang dengan kesadaran penuh bahwa semua adalah perjalanan yang harus dilalui... Akhirnya mereka memutuskan untuk berjalan sendiri sendiri.... Bagi saya mencintai itu baru dimulai saat permainan sepakbola sudah berjalan, bukan sebelum permainan di mulai atau peluit wasit baru saja ditiupkan... Bagaimana membongkar pertahanan dalam untuk mencapai sebuah kemenangan diperlukan saling pengertian yang tinggi antara seorang playmaker sekelas Xavi dengan penyerang sekaliber Luis Suarez. Playmaker harus tahu kemana striker bergerak agar dapat mengumpan, dan striker harus memahami pola pikir playmaker kemana playmaker tersebut akan mengumpan sehingga ia tahu kemana harus bergerak... Saat saling pengertian itu terbangun, maka sebuah tim akan menciptakan serangan-serangan berbahaya demi mencapai kemenangan... Maka sekali lagi...jangan merasa mencintai dahulu sebelum cinta itu dibuktikan di tengah kerasnya hidup yang kita lalui..... Cinta tumbuh bukan saat sebelum menikah, namun saat anda tahu, dia sangat berarti bagi anda untuk bertahan dalam mengatasi cobaan hidup.... Ikatan dua buah kayu atau bambu akan diuji kekuatannya bukan saat proses mengikat selesai, namun saat sudah di coba mengangkut beban.....

Jumat, 02 Oktober 2015

Ketika Maghrib di Pancoran

Saya bahkan sudah lupa nama dari pasangan sederhana berusia lanjut itu. Keduanya saya temui ketika saya membuat liputan kisah-kisah Ramadhan di tahun 2005 silam, tentang penyapu jalanan ibukota. Saya dan reporter waktu itu mendatangi sebuah rumah, yang lebih tepat disebut gubug, karena hanya berukuran sekitar 3x3 m2 yang berdiri di tanah kosong kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Gubug itu hanya terdiri dari satu ruangan bercampur aduk dari kamar tidur, ruang tamu, hingga dapur. Penghuninya adalah sepasang suami istri berusia senja, berumur sekitar 60 tahun an, yang berprofesi sebagai buruh penyapu jalan. Mereka bekerja dari selepas shubuh, hingga menjelang maghrib, menyapu jalan sekitar Tugu Pancoran, dengan upah waktu itu sekitar 5000 rupiah per hari. Namun kali ini saya terjebak oleh rasa kasihan sebagai seorang manusia. Ketika saya melihat mereka, saya jadi teringat dengan orang tua yang tinggal di Yogyakarta, yang juga tinggal sendiri di rumah.
Singkat cerita, seharian kami mengikuti pasangan suami istri lanjut usia itu dari mulai persiapan sebelum Shubuh, hingga sore menjelang. Menjelang maghrib, kami pun meneruskan pengambilan gambar buka bersama pasangan suami istri itu di gubung sederhana mereka. Adzan maghrib pun menggema ke seantero ibukota, dan saya terus merekam aktifitas mereka saat berbuka puasa. Melihat mereka berbuka puasa, saya pun tersenyum sambil mata tak lepas dari view finder kamera video saya. Begitu hangat mereka dalam kesederhanaan di usia senja. Saling berbincang, saling tertawa, saling bercerita, seolah hanya ada kebahagiaan di dalam hidup mereka. Seolah kesulitan hidup hanyalah pandangan orang luar yang hanya melihat hidup mereka "dari luar pagar". Mereka seperti muda dan bahagia.
Tak lama, si bapak memanggil saya dan reporter untuk ikut bergabung berbuka puasa bersama.
"Nak, berbukalah dulu....hentikan dulu bekerja...mari kita berbuka bersama..." kata si bapak memanggil saya.
Saya sebenarnya tidak enak ikut berbuka puasa mengingat makanan mereka terlihat tidak banyak. Saya takut justru merepotkan. Namun untuk kedua kali si bapak memanggil kami.
"Sini...ayo berbuka seadanya...hanya ada sayur bening, dan nasi serta segelas teh panas...."
Saya pun terpaksa memenuhi undangan mereka karena takut mereka tersinggung. Dan benar saja, di situ hanya ada serantang sayur bening yang hanya berisi daun kol saja tanpa ada sayuran lainnya. Teh panas yang dibuatkan si ibu pun bening dan tidak terlalu manis. Namun mereka dengan lahap berbuka dan minum teh bersama sambil tertawa tertawa bertukar cerita. Betapa sore itu di gubung yang hanya terbuat dari triplek bekas itu, saya benar benar mendapat sebuah makna. Betapa kebahagiaan tidak selalu diukur dengan harta dan rupiah. Betapa kehangatan dan cinta tidak selalu diukur dengan rumah mewah dan melimpahnya makanan.
Bahagia itu sederhana....ketika kita merasa bahwa harta adalah semu dan cinta adalah sesuatu jujur serta kekal. Segelas teh panas dan sepiring sayur kol menjadi istimewa, ketika kita tidak lagi memperbincangkan kesulitan...karena sejatinya hidup adalah saat tubuh, tangan, hati, dan pikiran kita selalu bahagia..
Kini saya tida pernah tahu lagi dimana pasangan suami istri itu berada. Terakhir saya berkunjung ke Jakarta dan melewat Pancoran, gubug mereka tidak lagi terlihat.