Morning Coffee

Pagi adalah inspirasi

Step

Setiap Langkah Kecil adalah Progres Besar bagi Hidup

Night

Bintang-bintang hanyalah masa lalu

Miracle

Keajaiban muncul dari energi tersembunyi di setiap manusia

God

Tuhan selalu ada di setiap sudut tersembunyi dari jiwa manusia

Senin, 18 Juli 2016

Salvatore Guiliano

Mungkin tidak ada yang kenal dengan Salvatore Guiliano..Ia adalah tokoh dalam novel The Sicilian karya Mario Puzo. Guiliano menjadi sosok pemberontak yang mengangkat senjata kepada pemerintah Italia dari hutan-hutan Sicilia. Namun di sisi lain Guiliano adalah pahlawan bagi rakyat Sicilia yang miskin. Ia membagi-bagikan hasil rampasan kekayaan para mafia-mafia dan tuan tanah, kepada rakyat miskin. Selama bertahun ia bergerilya di hutan-hutan, dan menjelma menjadi hantu yang ditakuti pemerintah, tuan tanah dan mengusik kerajaan kerajaan para mafia. Kepalanya menjadi sasaran nomor satu, namun kecerdasannya dalam perang gerilya membuat Salvatore Guiliano tak pernah tersentuh sedikitpun oleh senjata para aparat yang mengejarnya. Guiliano hanya tewas oleh dua hal :
1. Ketika ia memutuskan beristri
2. Pengkhianatan sahabat karib sekaligus komandan perangnya, Aspanu Pisciotta yang lelah bertempur dan menganggap sudah saatnya Guiliano berhenti berperang dan membangun keluarga seperti rakyat Sicilia pada umumnya.

Kesimpulannya, Guiliano tidak punya hubungan apapun dengan Santoso, pemimpin mujahiddin Indonesia timur. Yang kedua, jangan beristri kalau mau berperang dan menjadi pahlawan. Dan yang ketiga, jangan percaya siapapun, termasuk kepada sahabat. Percayalah kepada Tuhan....

-Hanya sebuah cerita pagi-

Mbah Arjo "Sang Penata Rambut"

Ada dua orang yang diceritakan ibu, pada minggu sore yang mendung itu. Satu orang bernama mbah Arjo, saya tidak tahu nama kecilnya. Perempuan Jawa jika sudah menikah kebanyakan menggunakan nama suaminya, sehingga kadang orang justru tidak tahu nama asli atau nama kecilnya. Dahulu Mbah Arjo datang seminggu sekali ke rumah saya. Pada masa itu saya masih berada di kelas 5 SD, dan tinggal bersama mbah buyut atau ibunya nenek, bernama mbah Pringgo, yang saya panggil budhe. Menurut silsilah, Budhe Pringgo adalah Putri dari Penari Cakil Keraton Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII, bernama mbah Sumodigdo. Hal ini lah yang membuat Budhe Pringgo mendapatkan gelar bangsawan Kraton Yogyakarta dari Sultan HB VIII waktu itu. Walau di masa tuanya tidak lagi aktif di Kraton, namun kebiasaan hidup dalam nuansa feodal selalu dipertahankan di keluarga kami. Kebiasaan hidup dalam lingkungan kraton pula lah yang membentuk karakter Budhe Pringgo untuk tetap rapi dalam berpakaian dan tertib ketat dalam etika jawa. Budhe selalu bangun pagi dan melaksanakan sholat Shubuh. Selepas sholat beliau selalu mandi dan langsung berpakaian rapi. Dengan kebaya, jarik, dan sanggul khas Jawa Yogyakarta, biasanya saat cucu cucunya baru bangun, beliau sudah lenggah di lincak (kursi bambu) depan rumah sambil nginang (mengunyah sirih). Karena bersanggul itulah, sosok mbaj Arjo ada. Mbah Arjo sangat setia dengan Budhe Pringgo. Beliau adalah "penata rambut" budhe Pringgo sejak budhe muda. "Penata rambut" di sini bukan berarti menata rambut, namun pemelihara "cemara". Apa itu "Cemara"? "Cemara" biasa juga disebut subal atau rambut palsu. Rambut palsu di sini berarti rambut palsu panjang yang dipakai bahan untuk sanggul. Karena tiap hari bersanggul, budhe Pringgo memiliki beberapa buah "cemara". "Cemara" itu masing- masing harus dirawat agar tidak rusak dan kusut. Tugas merawat itulah yang dibebankan kepada mbah Arjo. Setiap minggu mbah Arjo yang ramah selalu datang ke rumah kami. Jika dalam strata kebangsawanan Jawa, mbah Arjo adalah warga masyarakat biasa. Maka itu Mbah Arjo selalu memanggil budhe Pringgo dengan sebutan Den Ayu dan menyebut simbah atau eyang putri saya (anak budhe Pringgo) dengan panggilan Den Nganten. Setiap mbah Arjo datang, budhe selalu menyiapkan beberapa "Cemara" yang akan di service atau di rawat. Dengan pelan dan penuh rasa, mbah Arjo menyisir "cemara" dan meminyakinya dengan minyak telon agar "cemara" mudah disisir dan tidak kusut. Pekerjaan itu dilakukannya dengan telaten selama beberapa jam setiap seminggu sekali. biasanya sambil merawat "cemara", mbah Arjo dan budhe Pringgo selalu sambil asyik berbincang dari mulai rumpi hingga obrolan serius.

Namun, saat budhe Pringgo meninggal sekitar tahun 90 an, mbah Arjo pun tak lagi kelihatan mengunjungi rumah kami. Saat inipun tidak ada yang tahu di mana keberadaan Mbah Arjo..apakah masih hidup atau sudah meninggal.

Walau begitu, mbah Arjo dan profesinya selalu saya ingat dan menjadi bagian sejarah keluarga saya. Saya tidak bisa membayangkan, jikapun masih ada, apakah profesi seperti mbah Arjo masih memiliki lahan dan akan bertahan hidup di tengah era modern dimana tidak ada lagi orang yang rutin bersanggul dan banyaknya penata rambut dari berbagai negara dengan gaya masing2 berbeda...

Mbah Arjo adalah bagian dari saksi sejarah betapa jaman mengubah pola hidup masyarakat Yogyakarta tanpa kendali, dan menghancurkan komponen pembentuk  masa lampau yang unik dan tak lagi bisa kita jumpai sekarang...

Mbah Arjo kini hanya menjadi bagian dari cerita saja...bukan lagi menjadi aktor penting akibat teknologi instan dan pudarnya budaya lokal Yogyakarta.

Rabu, 13 Juli 2016

POKEMON 007

Pokemon go?iya saya juga curiga begitu...ada muatan intelijen walau blm terbukti dan mungkin akan terus menjadi dugaan spt google map, domain, email hingga fasilitas chat sp whatsapp....Biasanya kita hanya menunjuk dan menduga...kebakaran jenggot setelah sadar dan lalu meneriakkan anti amerika
...Cuma kita juga harus bercermin....Lha selama ini kita disibukkan dengan isu2 yang sebenarnya menjadi besar karena kita yang membesarkan...Isu yang menghabiskan energi kita shg kita lupa pada project IFX, OS-Wifanusa, KCR Trimaran, INASAT-1, HSFTB, ah banyak lagi tidak terhitung.....Apa hayo?mungkin banyak yg gagal paham dg kode kode di atas karena kita tidak peduli...

Suatu hari di tahun 2004 saya pernah ditugaskan meliput ke sebuah kantor milik BPPT di daerah Banten...saya lupa tepatnya....Seorang peneliti di sana bercerita...pernah ada 10 orang Insinyur Nuklir asal Indonesia yang lulus secara cumlaude dari Universitas Moskwa...Selesai studi mereka langsung ditawari bekerja di badan atom Rusia namun dengan alasan nasionalisme mereka menolak...Mereka pun pulang ke tanah air dan bekerja di sebuah badan pemerintah...Namun selama 3 bulan 10 orang jenius dalam bidang atom itu tiap hari kerjanya membaca koran saja karena ketiadaan perencanaan teknologi yang jelas dan ketiadaan dana riset. Singkat cerita, karena ketiadaan project, merekapun menerima pinangan Rusia dan lalu kembali meninggalkan tanah air dan bekerja di badan atom rusia..
Entah berapa banyak ilmuwan jenius kita yang pergi begitu saja mendedikasikan kecerdasannya untuk kejayaan negara lain karena pemerintah kita yang seolah2 "tidak butuh" mereka. Suatu hari seorang kawan yang merupakan lulusan National University of Singapore pernah bercerita.. Mengapa pemerintah Singapura hingga Australia membuka seluas2 nya beasiswa bagi pemuda pemudi Republik Indonesia?Konon salah satunya bukan karena mereka peduli...namun mereka paham potensi anak-anak muda kita yang cerdas....setelah mereka selesai belajar dan mendapat gelar cumlaude, hidup mereka dijamin dengan penawaran bekerja di bawah pemerintah atau perusahaan mereka...mereka dihadapkan pada pilihan nasionalisme tapi miskin dan atau kaya dan tersalurkan ilmunya di luar negeri..Pernah juga ada cerita bagaimana sebuah rapat Parlemen Malaysia membahas bagaimana cara membuat mahasiswa malaysia lebih kritis...hal ini karena konon hampir di setiap universitas di Malaysia, mahasiswa2 asal Indonesia jauh lebih aktif dan kritis dari mahasiswa malaysia sendiri....Sayang banyak orang cerdas ini menjadi kurang, karena label "kutukan" mereka adalah orang Indonesia yang setelah lulus....ya lulus aja...gak ada yg peduli....Dari mulai mahasiswa, penyanyi, pemain bola, hingga ilmuwan, saat susah ya jadi sampah di negerinya sendiri...tapi saat sudah berhasil tanpa ba bi bu langsung diklaim yang berhasil itu adalah orang indonesia!!

Bahwa bangsa ini masih kekanakan...kita harus mengakui...masyarakatnya masih suka berita dan acara yang berdarah darah dan rusuh serta sinetron2 murahan, medianya merespon karena karena kepentingan iklan, elite politiknya sibuk mencuri uang rakyat dengan berperan sebagai badut yang nyaman ditertawakan...Mereka berperan layaknya aktor sinetron mehe mehe yang berakting sebagai antagonis dengan menggunakan topeng pahlawan...

Bangsa kita masih disibukkan dengan saling hujat agama, asyik membicarakan korupsi (karena selalu ada), senang dengan arogansi dimana memegang parang akan lebih membanggakan dibanding memegang pena...Isu isu yang harusnya bisa diselesaikan dengan kompromi, duduk bersama, saling menghargai demi majunya bangsa, justru dibesar besarkan dengan otot dan bukan otak....

Di saat itulah Pokemon hadir....
Sederhana saja...menyita perhatian orang-orang kita yang tidak paham....sementara yang lain berteriak, CIA! Dan kitapun hanya bisa berteriak tanpa makna....Saya yakin kita belum terlambat untuk berubah menjadi bangsa satu yang maju...Saya juga yakin dari mulai pengrajin, penyanyi, olahragawan, ilmuwan, hingga kekuatan kekuatan ekonomi kita adalah salah satu yang terbaik di dunia....
Sekali lagi sayang....kita masih disibukkan dengan hal hal remeh temeh, individualistis, arogansi gologan dan pola pikir yang memenuhi ciri ciri bangsa yang kekanak kanakan...

(Jangan dipercaya...Tulisan ngawur karena berdasar pada katanya dan ditulis sambil nonton electone dangdut campursari di sebelah rumah....)

Btw anakku dari kemarin sdh maen Pokemon Go...lucu juga game nya....hehehe

Minggu, 10 Juli 2016

Ketika Kembali ke Jakarta

Sepi sekali rasanya saat kumasuki stasiun kereta api itu. Sementara bapak memarkir mobil Kijang tuanya, ibu tergopoh-gopoh membawakan beberapa tas plastik berisi makanan-makanan kecil dan nasi bungkus. Khusus nasi bungkus ini memang kemauan ibu, yang memaksa aku untuk membawa nasi rames. Nasi dan lauknya dibuat ibu sore tadi sebelum aku berangkat. Alasannya agar nasi dan lauk tetap hangat selama saat disantap di kereta.
Ibu selalu begitu saat aku pulang harus kembali ke Jakarta. Beliau selalu khawatir anaknya lapar di jalan, walau padahal aku dengan mudah bisa menemukan penjual nasi rames di sepanjang perjalanan. Tapi ibu tetaplah ibu...dengan umurku yang telah dewasa pun, beliau masih selalu menganggap anaknya masih kecil. Tapi aku selalu membiarkan itu karena mungkin dengan cara itulah aku dapat memutus rasa khawatirnya.
Kami pun menunggu bapak di pintu masuk Stasiun Tugu, yang waktu itu masih membolehkan pengantar masuk hingga ke dalam stasiun. Tak lama bapak pun menyusul kami, dan bersama kami menuju ke ruang tunggu kereta Stasiun TUgu, Jogjakarta. Ternyata kereta api Taksaka yang hendak aku naiki telah tersedia di salah satu peron stasiun. Akupun bersalaman pamit kepada bapak dan ibu yang berdiri bersebelahan di dekat pintu masuk kereta. Mereka terus tersenyum mencoba menegarkan anaknya yang hari ini harus kembali ke perantauan. Entah kapan aku akan bisa pulang kembali ke Jogja dan bertemu mereka kembali. Rasa rindu keluarga belum juga tuntas terobati...
Lebaran selalu membawa kebahagiaan bagiku karena menjelang mudik, aku sudah bisa membayangkan betapa bahagianya bertemu keluarga dan teman-teman masa kecil. Sebelum mudikpun, kebahagiaan itu sudah memberikan semangat besar untuk kembali ke rumah, betapapun sulitnya mencari tiket transportasi umum. Namun rasa itu kini berkebalikan!!Sepi, merasa jauh, kasihan dengan orang tua di rumah, dan terutama rasa tidak ingin kembali menghadapi kerasnya hidup selepas Ramadhan di perantauan yang jauh dari keluarga. Tapi bagaimana lagi?Kesempatanku hanya ada di kota Jakarta, kota asing penuh sesak dengan manusia yang saling sikut dan berkompetisi bertahan hidup. Selama ini saat aku lelah dengan kehidupan di Jakarta, aku hanya bisa menelepon rumah dan mendengarkan suara orang tua. Selebihnya dunia terasa sepi..semua serba sendiri di rantau. Menelpon pun tidak bisa sering-sering aku lakukan, karena aku harus jeli berhitung uang, mengingat waktu itu gaji masih pas-pasan dan dibagi banyak kebutuhan sehari-hari.
Aku adalah satu dari sekian banyak perantau asal Jogja yang mengadu nasib di Jakarta. Semua karena aku merasa kesempatan untuk bekerja dalam dunia televisi di Jogja jauh lebih sempit dibanding dengan di Jakarta. Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak punya pilihan selain bergantung pada kesempatan bekerja di Ibukota, dengan segala resikonya. Jauh dari keluarga, jauh dari tempat-tempat yang kita datangi untuk bermain semasa kecil, jauh dari teman-teman, merupakan resiko paling umum dari para perantau seperti aku. Dibandingkan dengan teman-teman perantau asal Jogja, aku lebih kurang beruntung karena tidak memiliki saudara yang bisa aku jadikan tujuan di kala memerlukan bantuan. Aku benar-benar "seorang diri" di bumi Jakarta yang luas. Dari mulai bangun tidur hingga merawat badan sakit semuanya sendiri. Dulu pada saat awal-awal merantau di Jakarta, aku selalu menghibur diri jika aku hanya seminggu kok bekerja di Jakarta, setelah itu pulang. Aku selalu menganggap Jakarta hanyalah persinggahan atau tempat bekerja saja, dan bukan rumahku. Hal itulah yang membuatku bersabar hari ke hari menjalani awal-awal hidup merantau di Jakarta. Kadang saat jenuh, aku kepingin kembali ke rumah, bekerja seadanya namun dekat keluarga. Namun saat sadar bahwa aku bukanlah satu-satunya perantau di Jakarta, rasa malu pasti datang.."Masa mental bertandingnya hanya segini??Kalah bertanding dan pulang ke rumah??cengeng banget!!Malu sama temen yang lain di Jakarta dan di kampung, kalau kalah bertanding hidup di Jakarta dan pulang dengan kegagalan...Pasti semua akan mencibir mengingat aku berasal dari keluarga perantau. Dari kecil keluarga kami selalu berpindah tempat dari mulai Papua hingga Dili, Timor Timur, mengikuti lokasi tempat bapak bekerja..
Tiba-tiba terdengar bunyi horn kereta dan pengumuman, jika kereta api yang aku tumpangi akan segera berangkat.... Lalu akupun masuk ke dalam kereta dan mencari tempat duduk sesuai tiket kereta. Untuk membesarkan hatiku, aku sering menganggap orang yang bersebelahan di kursi kereta merupakan teman seperjuangan di Jakarta. Tapi aku akan iri saat teman sekursi berkata, "saya hanya satu malam saja kok di Jakarta...besok sudah kembali ke Jogja lagi..." Dan aku??Harus menunggu lama untuk pulang kembali ke rumah....
Saat-saat kembali ke Jakarta selalu membuat sedih dan sepi. Apalagi jika kereta api menjelang berangkat, dan saat kereta sudah sampai di seputaran Bekasi. Saat berangkat aku selalu melihat keluar jendela hingga pemandangan kota Jogja terlewati, dan langsung menutup gorden jendela kereta untuk lekas-lekas mencoba tidur. Selalu saat itu aku merasa jiwaku tertinggal di kampung halaman, namun badanku beranjak pergi bersama kereta api yang bergerak kencang ke arah barat. Sementara itu setelah hampir 9 jam di atas kereta dan mulai memasuki kawasan Bekasi, aku selalu merasa kerasnya hidup sudah harus aku jalani. Biasanya hari pertama bekerja akan terasa berat, karena masih teringat kampung halaman. Apalagi kembali ke Jakarta setelah libur lebaran. "Lebaran yang terlambat" harus dilaksanakan dengan menyambangi tetangga dan pemilik kontrakan. Asing rasanya beranjangsana dengan orang-orang yang tidak begitu akrab dikenal. Rasa rindu akan suasana lebaran di kampung yang penuh dengan tawa tetap masih menjadikan hari-hari awal di Jakarta selalu emosional. Namun hal itu pelan-pelan akan hilang saat aku sudah beberapa hari bekerja, karena sebenarnya Jakarta menawarkan banyak hal yang membuat anak desa ini silau dan menikmati alurnya. Rasa sepi itu pelan-pelan akan hilang saat aku sudah bertemu dengan kawan-kawan di Jakarta.
Semua akan kembali menjadi indah saat aku merencanakan pulang kembali ke Jogja setelah lama di perantauan. Bersemangat kembali untuk pulang..Dan selalu semua kembali sama saat aku harus kembali lagi ke Jakarta. Orang bilang, untuk menghilangkan itu, aku harus menganggap Jakarta adalah rumahku. Namun entah mengapa, walaupun lama kelamaan mulai betah di Jakarta, rasa rindu kampung dan rasa sedih saat meninggalkan kampung tetap saja datang. Aku tidak bisa mengubah statusku sebagai perantau menjadi warga. Rasa yang jauh berbeda ketika aku harus bertugas ke luar kota atau ke luar Jawa yang hanya berlangsung dalam hitungan hari atau minggu. Hidup di Jakarta tidak pernah tau kapan harus berakhir dan kembali pulang ke kampung halaman..merasakan berkumpul dalam hangat suasana keluarga...
Suasana libur lebaran selalu meninggalkan banyak kenangan menyenangkan yang membuat hidup di perantauan terasa begitu sepi...Aku harus menunggu tahun depan untuk kembali bersemangat pulang kampung, dan lalu kembali sedih saat harus kembali ke perantauan... Sebuah siklus hidup yang selalu berulang bagi aku, dan mungkin jutaan perantau lain.... Bahkan para perantau baru yang selalu datang selepas merasakan hangat kehidupan kampung dan harus menghadapi kerasnya hidup di Jakarta... Sampai jumpa tahun depan kampung halamanku......
"Pasca Lebaran 2016"
Saya...yang mantan perantau....