Sepi sekali rasanya saat kumasuki stasiun kereta api itu. Sementara bapak memarkir mobil Kijang tuanya, ibu tergopoh-gopoh membawakan beberapa tas plastik berisi makanan-makanan kecil dan nasi bungkus. Khusus nasi bungkus ini memang kemauan ibu, yang memaksa aku untuk membawa nasi rames. Nasi dan lauknya dibuat ibu sore tadi sebelum aku berangkat. Alasannya agar nasi dan lauk tetap hangat selama saat disantap di kereta.
Ibu selalu begitu saat aku pulang harus kembali ke Jakarta. Beliau selalu khawatir anaknya lapar di jalan, walau padahal aku dengan mudah bisa menemukan penjual nasi rames di sepanjang perjalanan. Tapi ibu tetaplah ibu...dengan umurku yang telah dewasa pun, beliau masih selalu menganggap anaknya masih kecil. Tapi aku selalu membiarkan itu karena mungkin dengan cara itulah aku dapat memutus rasa khawatirnya.
Kami pun menunggu bapak di pintu masuk Stasiun Tugu, yang waktu itu masih membolehkan pengantar masuk hingga ke dalam stasiun. Tak lama bapak pun menyusul kami, dan bersama kami menuju ke ruang tunggu kereta Stasiun TUgu, Jogjakarta. Ternyata kereta api Taksaka yang hendak aku naiki telah tersedia di salah satu peron stasiun. Akupun bersalaman pamit kepada bapak dan ibu yang berdiri bersebelahan di dekat pintu masuk kereta. Mereka terus tersenyum mencoba menegarkan anaknya yang hari ini harus kembali ke perantauan. Entah kapan aku akan bisa pulang kembali ke Jogja dan bertemu mereka kembali. Rasa rindu keluarga belum juga tuntas terobati...
Lebaran selalu membawa kebahagiaan bagiku karena menjelang mudik, aku sudah bisa membayangkan betapa bahagianya bertemu keluarga dan teman-teman masa kecil. Sebelum mudikpun, kebahagiaan itu sudah memberikan semangat besar untuk kembali ke rumah, betapapun sulitnya mencari tiket transportasi umum. Namun rasa itu kini berkebalikan!!Sepi, merasa jauh, kasihan dengan orang tua di rumah, dan terutama rasa tidak ingin kembali menghadapi kerasnya hidup selepas Ramadhan di perantauan yang jauh dari keluarga. Tapi bagaimana lagi?Kesempatanku hanya ada di kota Jakarta, kota asing penuh sesak dengan manusia yang saling sikut dan berkompetisi bertahan hidup. Selama ini saat aku lelah dengan kehidupan di Jakarta, aku hanya bisa menelepon rumah dan mendengarkan suara orang tua. Selebihnya dunia terasa sepi..semua serba sendiri di rantau. Menelpon pun tidak bisa sering-sering aku lakukan, karena aku harus jeli berhitung uang, mengingat waktu itu gaji masih pas-pasan dan dibagi banyak kebutuhan sehari-hari.
Aku adalah satu dari sekian banyak perantau asal Jogja yang mengadu nasib di Jakarta. Semua karena aku merasa kesempatan untuk bekerja dalam dunia televisi di Jogja jauh lebih sempit dibanding dengan di Jakarta. Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang tidak punya pilihan selain bergantung pada kesempatan bekerja di Ibukota, dengan segala resikonya. Jauh dari keluarga, jauh dari tempat-tempat yang kita datangi untuk bermain semasa kecil, jauh dari teman-teman, merupakan resiko paling umum dari para perantau seperti aku. Dibandingkan dengan teman-teman perantau asal Jogja, aku lebih kurang beruntung karena tidak memiliki saudara yang bisa aku jadikan tujuan di kala memerlukan bantuan. Aku benar-benar "seorang diri" di bumi Jakarta yang luas. Dari mulai bangun tidur hingga merawat badan sakit semuanya sendiri. Dulu pada saat awal-awal merantau di Jakarta, aku selalu menghibur diri jika aku hanya seminggu kok bekerja di Jakarta, setelah itu pulang. Aku selalu menganggap Jakarta hanyalah persinggahan atau tempat bekerja saja, dan bukan rumahku. Hal itulah yang membuatku bersabar hari ke hari menjalani awal-awal hidup merantau di Jakarta. Kadang saat jenuh, aku kepingin kembali ke rumah, bekerja seadanya namun dekat keluarga. Namun saat sadar bahwa aku bukanlah satu-satunya perantau di Jakarta, rasa malu pasti datang.."Masa mental bertandingnya hanya segini??Kalah bertanding dan pulang ke rumah??cengeng banget!!Malu sama temen yang lain di Jakarta dan di kampung, kalau kalah bertanding hidup di Jakarta dan pulang dengan kegagalan...Pasti semua akan mencibir mengingat aku berasal dari keluarga perantau. Dari kecil keluarga kami selalu berpindah tempat dari mulai Papua hingga Dili, Timor Timur, mengikuti lokasi tempat bapak bekerja..
Tiba-tiba terdengar bunyi horn kereta dan pengumuman, jika kereta api yang aku tumpangi akan segera berangkat....
Lalu akupun masuk ke dalam kereta dan mencari tempat duduk sesuai tiket kereta. Untuk membesarkan hatiku, aku sering menganggap orang yang bersebelahan di kursi kereta merupakan teman seperjuangan di Jakarta. Tapi aku akan iri saat teman sekursi berkata, "saya hanya satu malam saja kok di Jakarta...besok sudah kembali ke Jogja lagi..." Dan aku??Harus menunggu lama untuk pulang kembali ke rumah....
Saat-saat kembali ke Jakarta selalu membuat sedih dan sepi. Apalagi jika kereta api menjelang berangkat, dan saat kereta sudah sampai di seputaran Bekasi. Saat berangkat aku selalu melihat keluar jendela hingga pemandangan kota Jogja terlewati, dan langsung menutup gorden jendela kereta untuk lekas-lekas mencoba tidur. Selalu saat itu aku merasa jiwaku tertinggal di kampung halaman, namun badanku beranjak pergi bersama kereta api yang bergerak kencang ke arah barat. Sementara itu setelah hampir 9 jam di atas kereta dan mulai memasuki kawasan Bekasi, aku selalu merasa kerasnya hidup sudah harus aku jalani.
Biasanya hari pertama bekerja akan terasa berat, karena masih teringat kampung halaman. Apalagi kembali ke Jakarta setelah libur lebaran. "Lebaran yang terlambat" harus dilaksanakan dengan menyambangi tetangga dan pemilik kontrakan. Asing rasanya beranjangsana dengan orang-orang yang tidak begitu akrab dikenal. Rasa rindu akan suasana lebaran di kampung yang penuh dengan tawa tetap masih menjadikan hari-hari awal di Jakarta selalu emosional.
Namun hal itu pelan-pelan akan hilang saat aku sudah beberapa hari bekerja, karena sebenarnya Jakarta menawarkan banyak hal yang membuat anak desa ini silau dan menikmati alurnya. Rasa sepi itu pelan-pelan akan hilang saat aku sudah bertemu dengan kawan-kawan di Jakarta.
Semua akan kembali menjadi indah saat aku merencanakan pulang kembali ke Jogja setelah lama di perantauan. Bersemangat kembali untuk pulang..Dan selalu semua kembali sama saat aku harus kembali lagi ke Jakarta. Orang bilang, untuk menghilangkan itu, aku harus menganggap Jakarta adalah rumahku. Namun entah mengapa, walaupun lama kelamaan mulai betah di Jakarta, rasa rindu kampung dan rasa sedih saat meninggalkan kampung tetap saja datang. Aku tidak bisa mengubah statusku sebagai perantau menjadi warga. Rasa yang jauh berbeda ketika aku harus bertugas ke luar kota atau ke luar Jawa yang hanya berlangsung dalam hitungan hari atau minggu. Hidup di Jakarta tidak pernah tau kapan harus berakhir dan kembali pulang ke kampung halaman..merasakan berkumpul dalam hangat suasana keluarga...
Suasana libur lebaran selalu meninggalkan banyak kenangan menyenangkan yang membuat hidup di perantauan terasa begitu sepi...Aku harus menunggu tahun depan untuk kembali bersemangat pulang kampung, dan lalu kembali sedih saat harus kembali ke perantauan...
Sebuah siklus hidup yang selalu berulang bagi aku, dan mungkin jutaan perantau lain....
Bahkan para perantau baru yang selalu datang selepas merasakan hangat kehidupan kampung dan harus menghadapi kerasnya hidup di Jakarta...
Sampai jumpa tahun depan kampung halamanku......
"Pasca Lebaran 2016"
Saya...yang mantan perantau....